Wanita Pesolek, Mengikat Nafsu 'Makan' |
Apa istimewanya warung itu? Cuman warung sedang-sedang saja. Pinggiran jalan. Tapi pikiranku mengatakan banyak keistimewaannya.
Menunya lengkap, menu masakan tradisonal Sunda. Lalapan, pepes ikan, ayam, oncom tahu, karedok, dan sederet menu lainnya. Satu meja ukuran 1 x 3 meter, penuh lauk pauk yang membangkitkan tetesan air liur.
Meski dikatakan harganya tidak murah, namun warung makan ini banyak disinggahi para pejalan yang melintas di jalan yang selalu padat merayap itu.
Lalu Apa Hubungannya dengan Keterikatan?
Keterikatan yang saya maksudkan kira-kira begini. Saat nafsu makan kita muncul, hal yang harus dilakukan adalah memenuhinya dengan menyantap makanan. Jika tidak dipenuhi, maka kita akan merasa lemah, lapar. Namun apabila tidak merasakan lapar, perut terasa penuh karena telah diisi, namun masih saja ‘ngotot’ untuk melampiaskan makan. Entah karena makanannya yang menggiurkan, ataupun karena keinginan mampir semata karena warung itu ‘menyejukkan,’ inilah keterikatannya. Keterikatan hati kita yang memaksa untuk tetap makan dalam kondisi tidak siap/ perlu makan.
“Saya seharusnya mampir ke warung itu untuk makan.” (Padahal saat itu saya tidak merasakan lapar, karena belum lama perut sudah terisi makanan).
Begitu pikiran itu muncul, Saya berkata pada diri sendiri, ”Saya tidak lapar, mengapa saya ingin melakukannya? Ah, ini pasti bukan diri saya. Bukan pikiran saya yang sebenarnya.”
“Ahk saya harus mampir, makanan di warung itu sungguh enak mengundang selera, makan sedikit bolehlah,” demikian terus menerus.
“Tidaaakk. Saya tidak lapaarr,” pikiran saya menolaknya dengan tegas.
Seketika itupun keinginan “makan” menjadi sangat lemah. Semakin melemah. Saat kemudian muncul kembali menggoda, saya sudah dapat sepenuhnya mengendalikannya. Lambat-laun pikiran itupun hilang.
Saya pikir, pikiran ini memiliki jiwa pada dimensi lain. Pada dimensi lain itu pikiran tumbuh dan berkembang seperti manusia. Mulai dari kecil, dan “tumbuh“ makin besar, bertambah besar. Semakin pikiran itu bertambah besar, semakin sulit untuk memadamkannya. Sulit untuk mengendalikannya.
Saat pikiran dimensi lain itu tidak dikendalikan, maka kita sebenarnya tengah memberinya energi untuk ‘dirinya’ tumbuh makin besar. Bahkan bisa menguasai pikiran kita sendiri. Olehkarenanya kita harus dengan jelas dan segera menyadarinya bahwa ‘pikiran di dimensi lain’ itu bukanlah diri kita yang sebenarnya. Cara ini memungkinkan kita dapat menyingkirkannya lebih cepat. Sehingga kita dapat selalu mengenali mana pikiran kita yang sebenarnya, mana yang pikiran ber-keterikatan.
Pikiran yang mengendalikan, bukanlah Keterikatan yang pegang kemudinya. Termasuk soal ‘makan’ tadi. Makan hingga mencapai taraf “Makan tetapi tidak merasakan, mulut bebas dari keterikatan.”(HY III)
Pikiran yang mengendalikan, bukanlah Keterikatan yang pegang kemudinya. Termasuk soal ‘makan’ tadi. Makan hingga mencapai taraf “Makan tetapi tidak merasakan, mulut bebas dari keterikatan.”(HY III)